Iklim dan Perubahan Iklim

Iklim (dari bahasa Inggris berasal dari kata Yunani Kuno “klima”, yang berarti kecenderungan) biasanya didefinisikan sebagai cuaca rata-rata selama periode yang panjang. Iklim adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan kondisi atau keadaan cuaca rata-rata pada suatu wilayah yang luas dalam jangka waktu yang panjang dengan kurun waktu minimal 30 tahun.

Perubahan iklim merupakan fenomena global yang menjadi perhatian masyarakat dunia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perubahan iklim merujuk pada peralihan cuaca yang mencolok yang terjadi di antara dua periode tertentu dari suatu wilayah iklim.

Penyebab Perubahan Iklim

Pemanasan global dan perubahan iklim sebenarnya bukan merupakan hal baru. Kedua fenomena ini telah ada selama puluhan ribu tahun, terjadi secara alami karena perubahan posisi bumi.5 Namun, berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2013, dalam satu abad terakhir, terjadi percepatan pemanasan global akibat meningkatnya produksi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil serta aktivitas manusia lainnya seperti perubahan dan alih fungsi lahan. Laporan Khusus IPCC tentang Pemanasan Global 1,5°C pada tahun 2017 menyatakan bahwa suhu bumi saat ini telah meningkat sekitar 1°C dibandingkan pada masa pra-industri.

Mengenal Gas Rumah Kaca

Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas yang terkandung di dalam atmosfer, dihasilkan dari aktivitas alam maupun manusia yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim6. Saat matahari memancarkan sinarnya ke bumi, tak seluruh energi panasnya sampai ke permukaan bumi. Dari sebagian
energi panas yang masuk, hanya sebagian yang diserap permukaan bumi, sisanya dipantulkan kembali. Namun, dari yang dipantulkan, tidak seluruhnya mampu meninggalkan atmosfer karena tertahan oleh GRK yang berada di atmosfer. GRK menyerap dan menahan panas tersebut. Peristiwa inilah yang kemudian disebut sebagai Efek Rumah Kaca.

Keberadaan GRK dalam tingkat yang normal sejatinya baik untuk bumi dan seluruh makhluk yang tinggal di dalamnya. Kemampuannya memerangkap panas matahari dapat menghangatkan bumi sehingga nyaman dihuni. Tanpanya, suhu bumi akan turun, bahkan bisa lebih rendah dari -18 °C.7 Namun, apabila jumlah GRK di atmosfer terlalu tinggi, maka panas yang terserap pun akan semakin besar dan dapat menyebabkan kenaikan suhu bumi hingga di atas batas kewajaran. Kenaikan suhu bumi yang tidak terkendali itu akan membuat bumi semakin panas hingga akhirnya menimbulkan kerusakan alam dan menempatkan manusia
serta makhluk bumi lainnya dalam kondisi rentan.

Jenis-Jenis Gas Rumah Kaca

Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), terdapat enam jenis GRK yang dapat menimbulkan pemanasan global, yaitu:

Karbon dioksida (CO2)

Karbon dioksida merupakan polutan yang berasal dari pembakaran batu bara atau bahan bakar fosil lain, termasuk untuk pembangkit listrik, mesin industri, dan kendaraan.

Metana (CH4)

Metana adalah GRK yang biasanya diproduksi dari proses pembusukan sampah dan aktivitas manusia
di sektor pertanian dan peternakan. Hewan-hewan ternak seperti sapi, babi, dan domba menghasilkan metana dari proses pencernaan yang mereka lakukan.

Nitrat oksida (N2O)

Nitrat oksida merupakan emisi yang banyak berasal dari aktivitas pertanian, penggunaan lahan, industri, pembakaran bahan bakar fosil, dan produksi limbah padat. Di sektor pertanian khususnya, kegiatan yang paling banyak menghasilkan nitrat oksida adalah penggunaan pupuk sintetis, pengelolaan pupuk kandang, dan pembakaran sampah pertanian.

Hidrofluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs), dan Sulfur Heksafluorida (SF6)

Gas berfluorinasi bersumber dari aktivitas yang berhubungan dengan manusia. Hidrofluorokarbon biasanya dimanfaatkan sebagai bahan pendingin, propelan aerosol, pelarut, dan penghambat api. Penggunaan hidrofluorokarbon sebagai pendingin, seperti pendingin udara yang biasa dipakai di rumah, gedung, maupun kendaraan, menyebabkan zat ini menjadi salah satu sumber emisi. Sementara itu, perfluorokarbon
merupakan bahan kimia (terutama CF4 – karbon tetrafluorida dan C2F6 – hexafluoroethane) buatan manusia
yang dihasilkan dari proses industri dan digunakan dalam manufaktur.8 Terakhir, sulfur heksafluorida biasanya digunakan dalam pemrosesan magnesium dan manufaktur semikonduktor, serta gas pelacak untuk mendeteksi kebocoran.

Emisi GRK Global dari Aktivitas Manusia
Emisi GRK Global dari Aktivitas Manusia

Sumber Utama Gas Rumah Kaca

Emisi GRK secara global disumbang oleh berbagai sektor, yaitu energi, lahan dan hutan, pertanian, industri, dan limbah. Sektor energi menyumbang hampir tiga perempat dari emisi global. Emisi terbesar di sektor energi berasal dari pembangkit listrik dan panas, transportasi, dan manufaktur.

Sektor Penyumbang GRK Global (dalam juta ton CO2e)

Contoh emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim yaitu termasuk karbon dioksida dan metana. Emisi gas rumah kaca ini berasal dari penggunaan bensin untuk mengendarai mobil atau batu bara untuk memanaskan gedung, misalnya. Selain itu, pembukaan lahan dan hutan berpengaruh mampu melepaskan karbon dioksida. Tempat pembuangan sampah merupakan sumber utama emisi metana. Energi, industri, transportasi, bangunan, pertanian dan tata guna lahan termasuk di antara penghasil emisi utama.

Dampak Perubahan Iklim

Selain mempengaruhi ekosistem, baik di darat maupun laut, perubahan iklim juga berdampak signifikan pada kehidupan makhluk-makhluk bumi. Berikut sejumlah contoh dampak perubahan iklim di beberapa sektor.

KELAUTAN

Laporan Khusus IPCC tentang Pemanasan Global 1,5°C mengungkap bahwa lapisan permukaan atas lautan (dengan kedalaman 0-700 meter) telah mengalami peningkatan suhu.

Peningkatan suhu air laut juga menyebabkan lapisan es di Kutub Utara mencair dengan cepat. Menurut IPCC, pada bulan September periode 1997-2014, rata-rata luas laut es mengalami penyusutan hingga sebesar 130 ribu km² per tahun.Proses itu terjadi empat kali lebih cepat dibandingkan proses hilangnya es pada bulan September periode 1979-1996. Hal itu berdampak pada naiknya permukaan air laut sehingga menempatkan daerah pesisir dalam kondisi kian tak stabil dan rentan terhadap banjir rob (banjir di tepi pantai). Berdasarkan penelitian Bappenas, daerah pesisir di wilayah Indonesia bagian barat lebih rentan terhadap banjir rob karena area pantainya cenderung lebih landai.

PERTANIAN

Gelombang panas, perubahan suhu serta curah hujan mengakibatkan penurunan hasil panen. Jika terjadi dalam waktu berkepanjangan, maka dapat mengancam ketahanan pangan masyarakat dunia.

KESEHATAN

Kesehatan masyarakat merupakan hal lain yang terpengaruh perubahan iklim, baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan Laporan Khusus IPCC tentang Pemanasan Global 1,5°C, gelombang panas yang memperburuk kualitas udara dapat menimbulkan gangguan pernapasan. Di sisi lain, suhu dan tingkat kelembaban lingkungan yang meningkat dapat memicu stres pada kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan atau aktivitas fisik. Pada bulan-bulan terpanas, produktivitas mereka pun akan semakin terganggu. Perubahan curah hujan dan tingkat kelembaban udara juga berkontribusi mendorong perkembangbiakan, mengubah perilaku, dan memperpanjang kelangsungan hidup nyamuk. Intensitas penularan penyakit malaria pun kian tinggi.

khususnya di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Begitu pula dengan penularan Demam Berdarah Dengue (DBD), chikungunya, Zika, dan penyakit akibat nyamuk lainnya, selain karena jumlah nyamuk yang bertambah, jangkauan geografis mereka pun semakin luas. Sementara itu, secara tidak langsung, perubahan iklim yang memperbesar potensi gagal panen dan menurunkan produksi pertanian membuat upaya pemenuhan gizi masyarakat kian sulit dicapai.

EKOSISTEM

Perubahan iklim tak hanya berpengaruh pada kehidupan manusia, tetapi juga berdampak pada kelangsungan hidup tumbuhan dan binatang. Contohnya, IPCC memperkirakan, jika suhu permukaan bumi naik hingga 2°C, sekitar 18 persen serangga, 16 persen tumbuhan, dan 8 persen vertebrata akan punah.Hal itu terjadi, salah satunya, karena perubahan iklim dapat berkontribusi pada meningkatnya penyebaran spesies invasif, serta hama dan penyakit. Sementara di laut, salah satu hewan paling terdampak perubahan iklim adalah terumbu karang. Ketika terjadi perubahan suhu 1°C-2°C selama kurun waktu tertentu, terumbu karang akan memutih, lalu mati atau bahkan punah. Berdasarkan data tahun 2016-2017, terumbu karang ikonik seperti Great Barrier Reef di Australia telah mengalami pemutihan dan hampir 50 persen mati. Tidak berhenti di situ, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) memperkirakan bahwa akan ada sembilan situs Warisan Dunia berisi terumbu karang akan hilang jika manusia tidak berupaya mengurangi produksi gas rumah kaca. Selain dampak-dampak pada berbagai sektor di atas, IPCC berpendapat, perubahan iklim juga memberikan pengaruh negatif bagi sektor pariwisata dan transportasi. Jumlah turis yang berkunjung ke lokasi wisata yang menjual pesona keanekaragaman hayati dan lingkungan seperti pantai, gletser, dan lainnya akan urung berkunjung lagi jika aset-aset itu mengalami kepunahan atau kerusakan. Kejadian cuaca ekstrem seperti banjir dan badai pun akan menghambat operasional transportasi, baik darat, udara, maupun, laut.

Kelompok yang Paling Rentan Terdampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim memiliki dampak signifikan terhadap segala aspek kehidupan manusia. Namun, besar kecilnya dampak tersebut berbeda bagi setiap pihak, tergantung gender, usia, dan kelas sosial. Sejumlah kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah perempuan, anak dan masyarakat adat.

Perempuan

Saat terjadi bencana akibat perubahan iklim, perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling rentan, apalagi jika mereka memiliki keterbatasan ekonomi dan mengemban peran ganda di keluarga, baik sebagai pengasuh utama maupun sebagai penyedia kebutuhan seperti makanan, air, bahkan bahan bakar. Ketika terjadi kekeringan berkepanjangan, misalnya, perempuan harus berusaha lebih keras demi memperoleh makanan dan menempuh perjalanan lebih jauh untuk mendapatkan air. Selain itu, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 80 persen orang yang mengungsi akibat perubahan iklim merupakan perempuan. Sayangnya, tempat pengungsian yang tersedia sering kali tik dilengkapi fasilitas pendukung yang memadai seperti penerangan yang cukup dan sanitasi. Tempat pengungsian biasanya tak memiliki area terpisah untuk perempuan dan laki-laki. Kondisi itu meningkatkan potensi kekerasan terhadap perempuan. Hak kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi mereka pun terabaikan.

Terlepas dari kerentanannya itu, perempuan memiliki peran signifikan dan potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam aksi pengendalian perubahan iklim. Berdasarkan data UNFCCC, hampir 43 persen petani di negara berkembang adalah perempuan. Jika mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengakses teknologi dan sumber daya, perempuan dapat meningkatkan produksi pertanian hingga 20-30 persen. Hasil pertanian negara pun bisa naik 2,4-4 persen. Belum lagi, pencapaian perempuan di sektor pertanian dapat berkontribusi mengurangi kelaparan dunia hingga 12-17 persen. Jika terwujud, hal itu dapat memberi dampak positif pada agenda adaptasi iklim. Pertama, penggunaan teknologi atau sumber daya yang tepat berkontribusi pada pertanian dan konservasi yang lebih berkelanjutan. Kedua, pengurangan kemiskinan memampukan perempuan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut, perlu ada dukungan berbagai pihak, pemerintah, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya, dalam pengembangan kapasitas dan memampukan kelompok perempuan agar siap beradaptasi terhadap perubahan iklim. Sebagai respons dari kebutuhan itu, UNFCCC menerbitkan panduan dan modul tentang perubahan iklim dan gender serta menyetujui dokumen rencana aksi pengarusutamaan gender. Dokumen rencana aksi itu memiliki 5 area prioritas yaitu capacity building knowledge and communication, gender balance participation women’s leadership, coherence, gender responsive implementation and means of implementation, dan monitoring reporting.

Anak

United Nation Children Fund (UNICEF), organisasi PBB yang bergerak di bidang kesejahteraan anak, di dalam dokumen kajiannya yang berjudul “The Climate Crisis is a Child Crisis (2021)”, menyebutkan bahwa kurangnya akses anak ke hal-hal dasar seperti pelayanan kesehatan, gizi, pendidikan dan perlindungan sosial, menjadikan mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim dibandingkan orang dewasa. UNICEF
mengungkap, secara fisik, anak kurang mampu menahan dan bertahan dari bencana seperti banjir, kekeringan, cuaca buruk, dan gelombang panas. Selain itu, mereka lebih mudah terpengaruh polusi, bahkan pada dosis paparan yang lebih rendah. Mereka juga lebih berisiko meninggal dari penyakit yang mungkin diperburuk oleh perubahan iklim, seperti malaria dan demam berdarah. Untuk menanggulangi persoalan tersebut, UNICEF menilai penting untuk memberikan pemahaman kepada setiap anak tentang perubahan iklim, dampaknya, serta bagaimana mereka dapat mempersiapkan diri dan beradaptasi. UNICEF berpendapat, hal itu dapat dilakukan dengan memasukkan isu perubahan iklim ke dalam kurikulum sekolah. Tanpa pendidikan perubahan iklim yang baik, anak akan kesulitan memahami cara-cara terbaik yang bisa dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim, terutama di era digital di mana beragam informasi keliru soal perubahan iklim dapat mudah ditemukan.

Masyarakat Adat

Masyarakat adat hidup bersama dan dari alam. Mereka memiliki peran penting dan kontribusi signifikan dalam menjaga hutan dan lingkungan. Namun, keberadaan mereka justru terpinggirkan, terutama pada
masa pembangunan saat ini. Parahnya lagi, perubahan iklim yang berdampak pada lingkungan turut mempengaruhi kelangsungan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat.

Apa yang Bisa Dilakukan untuk Tanggulangi Perubahan Iklim?

  • Mematikan lampu atau peralatan elektronik lainnya jika tidak digunakan. Konsumsi listrik dari penggunaan lampu dan peralatan elektronik lain menghasilkan emisi GRK, terutama apabila pembangkit listrik yang digunakan didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti di Indonesia.
  • Kurangi penggunaan kendaraan bermotor milik pribadi, terutama untuk perjalanan jarak dekat. Sedapat mungkin, beralih lah ke penggunaan transportasi umum untuk perjalanan jarak jauh. Untuk jarak dekat, pilih transportasi yang tidak berbahan bakar fosil, seperti sepeda atau cukup berjalan kaki.
  • Kurangi produksi sampah organik. Sampah organik hasilkan gas metana (CH4) yang memiliki potensi pemanasan global 25x lebih tinggi dari karbon dioksida (lihat Tabel 1). Sebagai individu, kita bisa kurangi produksi gas metana dari sampah organik dengan konsumsi makanan seperlunya agar tak ada yang terbuang. Selain itu, mengolah sampah organik, baik dari makanan, sayurmayur, buah-buahan, dan sumber lainnya menjadi kompos.
Scroll to Top